Selasa, 02 Desember 2008

Menjelang Hari Hak Asasi Manusia Dunia

Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, akankah memberikan kita pemahaman tentang apa makna hak asasi manusia bagi kita? Berbagai pertanyaan dan pernyataan tentang HAM muncul dan semakin membungkam ide dan pikiran kita. Berbagai pendapat para pakar tentang apa itu definisi HAM justru semakin mempercabang pemaknaan kita tentang HAM. Pada awalnya setahu saya, apabila ada tindak kekerasan yang dilakukan militer terhadap para aktivis adalah pelanggaran HAM. Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan pihak yang kuat dan berkuasa terhadap pihak yang termarjinalkan dan yang lemah, adalah pelanggaran HAM. Tragedi 1965, kasus Malari, Kasus Lampung, tragedi Trisakti 1998, Marsinah, Wiji Tukul adalah sekelumit kasus pelanggaran HAM yang tidak terpecahkan hingga saat ini.

Kamis, 21 Agustus 2008

MENJAGA KEUTUHAN SEBUAH KELOMPOK TANI

MENJAGA KEUTUHAN SEBUAH KELOMPOK TANI

Oleh:

Suryo Baruno

Pendahuluan

Apabila terdapat pertanyaan perbedaan dan persamaan antara guru dan petani, tentu saja kita dapat menjawab perbedaannya, yaitu guru mengabdikan dirinya dibidang pendidikan, sedangkan petani berdedikasi dibidang pertanian. Sedangkan persamaannya antara lain, mereka adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat petani adalah penyangga pangan bangsa ini. Sesuatu peran yang sangat vital, tetapi nasib masyarakat tani terasa masih terpinggirkan. Berbagai masalah selalu menerpa masyarakat tani dalam menjalankan proses produksinya, pupuk bersubsidi yang tak dapat dinikmati, serangan hama dan penyakit, gagal panen yang diakibatkan kekeringan dan belum lagi apabila terjadi panen raya, harga jual produk yang selalu dipermainkan tengkulak. Terlebih lagi ditengah tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi, seakan tak pernah berhenti segala permasalahan yang dihadapi masyarakat tani. Tetapi yang patut kita acungi jempol, dalam melaksanakan proses produksi mereka selalu dapat bertahan dan optimis. Dalam benak seorang petani, yang terpenting adalah mereka dapat menjalankan proses produksinya dan yakin mereka dapat berhasil dalam panen, meskipun tanpa memperhitungkan rugi laba usahanya, sungguh ironis memang. Pada perkembangannya atas dasar persamanaan nasib dan motivasi yang sama maka petani petani di suatu lokal membentuk kelompok tani. Hal ini sebagai wadah untuk membahas segala permasalahan yang mereka hadapi, berdiskusi dan mencari solusi yang terbaik. Pembentukan sebuah kelompok tani tak dapat dilepaskan dari peran Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dibawah Badan Penyuluh Pertanian (BPP) dibawah Dinas Pertanian.

Peran Penyuluh Pertanian

Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mempunyai multi peran dalam menjaga keutuhan dan berkelanjutannya kinerja sebuah kelompok tani. PPL berperan sebagai pendamping, pembawa hasil penelitian dan informasi, guru, pembina dan tentu saja organisatoris. Menurut Arthur T. Mosher (1969) yang disadur oleh Wirjomidjojo dan Sudjanadi, “petugas penyuluh pertanian berfungsi membantu petani-petani agar mereka dapat menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan yang ada untuk meningkatkan daya produksi mereka sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada masing-masing lokalitas”. Dalam perkembangannya selanjutnya petugas PPL selalu mendampingi dan membina kelompok tani baik dari faktor kelembagaan, administrasi, sumber daya dan teknis pertanian. Membutuhkan waktu yang tidak singkat dalam membentuk dan membina sebuah kelompok tani menuju kelompok tani yang mandiri. Sulistiyo dan Ninik Sri Rejeki (1994) menyebutkan bahwa, “salah satu hal yang penting sifatnya dalam hubungannya dengan dinamika kelompok adalah bagaimana menjamin kelangsungan kelompok tersebut sehingga dapat semakin memberikan manfaat bagi para anggotanya. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya untuk menjaga kelangsungan kelompok tersebut jauh lebih sulit daripada proses membentukannya”. Pada perkembangannya keutuhan dan berkelanjutannya kelompok tani selalu dibayang-bayangi oleh persinggungan horizontal antara anggotanya, terlebih lagi bila kepentingan pribadi atau golongan bermain di dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang ironis, mengingat fungsi strategis dan manfaat kelompok tani bagi petani pada khususnya.

Intersept Politik

Pada era perkembangan proses pembelajaran berdemokrasi sekarang dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak berpolitik. Kebebasan hak untuk dipilih dan memilih, maka tak jarang terdapat pengurus atau anggota sebuah kelompok tani menjadi kader untuk partai peserta pemilu atau untuk kepentingan tertentu, misal menjadi kader salah satu calon kandidat dalam pilpres, pilgub, pilbup dan pilkades. Hal ini akan membentuk terjadinya hubungan interelasi antara kelompok tani dengan suatu partai atau calon kandidat dalam pilpres dan pilkada. Apakah hal ini merupakan suatu kesalahan atau keluar dari aturan dan platform yang ada? Kembali lagi kepada persamaan hak untuk berdemokrasi dan bukankah sebuah partai terlahir dari rakyat, oleh rakyat dan tentu saja keberadaannya untuk rakyat, sehingga hal itu bukan merupakan suatu kesalahan. Justru hal itu akan meningkatkan kesadaran berpolitik masyarakat, dan diharapkan akan lebih membawa manfaat atau perubahan yang lebih baik. Memang hal itu tak sepenuhnya berdampak positip kepada kelangsungan sebuah kelompok tani. Dampak negatip yang sering ditimbulkan bila terjadi interelasi antara kelompok tani dengan suatu partai peserta pemilu atau calon kandidat dalam pilpres dan pilkada adalah terjadinya persinggungan horizontal antar anggota atau pengurus kelompok tani, yang akan berakibat menurunnnya kinerja kelompok tani. Tak jarang para pelaku politik memanfaatkan segala permasalahan yang dihadapi petani untuk diangkat menjadi komoditas politik dalam berkampanye. Bahkan terdapat partai dan kontestan pilkada secara langsung yang membantu kelompok tani tanpa melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dan tentu saja dengan feedback kompensasi suara. Firmanzah (2007),dalam bukunya Marketing Politik menyebutkan bahwa “masuknya komersialisasi dalam kehidupan masyarakat telah mengubah struktur masyarakat. Kalau dulunya masyarakat melihat bahwa politik adalah sesuatu yang luhur dan tinggi, sekarang mereka melihatnya dengan lebih pragmatis. Masyarakat dihadapkan pada tuntutan hidup yang semakin tinggi ditengah-tengah persaingan global yang mengubah karakter masyarakat untuk menjadi lebih pragmatis”. Mengingat posisi sebuah kelompok tani yang strategis, patut disayangkan apabila masih terdapat partai atau kandidat pilkada memposisikan atau menjadikan masyarakat dalam hal ini kelompok tani hanya sebagai objek, atau sebagai pundi-pundi suara. Pelaku panggung politik harus sadar segala akibat yang akan terjadi bila intersept politik pada kelompok tani. Persinggungan atau perselihanan yang terjadi memang tak akan berakibat pada konflik horizontal antar anggota atau pengurus. Namun hal itu akan mengakibatkan menurunnya kinerja kelompok tani, atau lebih parahnya lagi sebuah kelompok tani bisa saja bubar. Dapat dibayangkan bagaimana individu-individu petani dalam menjalankan proses pertaniannya tanpa wadah, tanpa bimbingan, sehingga mereka akan berjalan seakan tanpa arah. Jangankan untuk revitalisasi, untuk sebuah proses ”islah” dan melupakan sejenak persinggungan yang terjadi antara anggota saja akan membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit serta proses yang panjang.

Dari Objek menjadi Subjek

Menjadi suatu objek memang tidak menyenangkan, selalu diatur oleh sang subjek, tak punya bargaining, dan hanya selalu menerima tanpa dapat melakukan sesuatu yang menambah arti. Pola pendampingan pada kelompok tani yang intensif, dan berkelanjutan diharapkan akan mampu menumbuhkan sifat yang lebih konsisten dalam bekerjasama antar anggota, pengurus dan petugas pendamping. “Untuk mencapai tujuan kelompok maka motif yang sama (motif untuk berkelompok) tersebut harus disertai dengan keinsyafan anggota kelompok bahwa tujuan tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan kerjasama diantara mereka”, (Gerungan (1987), disitasi oleh Sulistiyo dan Ninik Sri Rejeki (1994). Adapun output yang diharapkan dari pola tersebut adalah peningkatan sumberdaya dan kinerja kelompok tani, sehingga para anggota lebih merasakan pula peningkatan nilai manfaat dan benefit bergabung dalam kelompok tani. Alangkah lebih baik apabila pihak pemerintah dalam hal ini akan melibatkan beberapa instansi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada kelompok tani, misal pembentukan kelompok tani menjadi koperasi kelompok tani (hal ini sudah dilakukan dan berjalan di beberapa kabupaten). Juga prosedur pemberian berbagai ijin usaha yang dipermudah, misal prosedur ijin usaha untuk menjadi agen atau pengecer pupuk (sesuatu yang menyangkut harkat kehidupan pertanian), akses modal kerja usaha, pemasaran hasil, transparansi kebijakan publik, serta beberapa kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada petani lainnya. Disamping itu pendampingan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, misal dalam peningkatan kesadaran berpolitik. Hal ini diharapkan anggota kelompok tani lebih dapat memilih sendiri kemana aspirasi politiknya akan disalurkan. Dari berbagai hal tersebut, maka diharapkan kelompok tani akan meningkat kinerja dalam berbagai aspek, sehingga akan memberikan manfaat lebih bagi para anggotanya, sehingga timbul kesadaran dari para anggota kelompok tani untuk selalu mempertahankan keutuhan dan berkelanjutannya sebuah kelompok tani. Kelompok tani tak lagi menjadi objek, tetapi akan mampu menjadi subjek. Para anggota dan pengurus kelompok tani akan dapat memilah antara kepentingan kelompok tani mereka dengan kesadaran berpolitik setiap pribadi. Sebab para anggota dan pengurus kelompok tani sadar bahwa mempertahankan dan menjaga keutuhan dan kelanjutan kelompok tani sangat lebih sulit. (Bahkan di segala aspek kehidupan).

Penulis adalah

Alumnus UNDIP

Pemerhati Masalah Sosioekologi Pembangunan Pedesaaan

We have Right to participated

The Achievement and development of the 2008 KOMPIP’s Program

KOMPIP Undertook the program that was related to rumours of the promotion of democracy in the local level and good governance as well as rumours of the humanitarian aid.

Rumours of the Promotion of Democracy in the local level went since the KOMPIP founding. Various small achievements in the local level, national but also international was passed by KOMPIP during the last 8 years. The achievement in part :

1. KOMPIP joined thousands of poor and marginal communities in three cities, Surakarta, Sragen and Boyolali.

2. KOMPIP facilitated innovasi space of the resident's participation, like:

a. the existence of plans of the regional regulation partsipasi

b. The practice of the involvement of local senate open meeting,etc

3. KOMPIP took Forabi received Participatory award in the year 2004. award was given by USAID, DEPDAGRI and DEPKEU

4. KOMPIP the success prevented the occurrence of the mobilisation of the small vendors with the violence for 1000 Banjarsari small vendors to Notoharjo market.

5. KOMPIP the success facilitated the movement watch dog Formas so as 2,5 billion retired funds of the senate's local service could be returned to the regional treasury.

6. KOMPIP became National Secretary of KAUKUS 17 ++

7. The KOMPIP activist joined to IOC AEPY V at Hanoi dan Finlandia

8. KOMPIP became Associate Harvard University by being invited of the KOMPIP staff in Bridge Builder Conference, the innovation sharing meeting for the community Asian Africa and Latin America

Rumours of the humanitarian aid also became the developing part was enough to advance since the beginning of the KOMPIP interest in Earthquake casualties in Klaten and DIY

KOMPIP since 2006 played a role in an effort to alleviate earthquake casualties. The small note from the activity in helping earthquake casualties in part :

1. The sending 1125 volunteers to Klaten and Bantul

2. Built community savings in 126 comunities in Klaten and Bantul

3. Built 305 framework houses in Klaten

4. Carried out the increase in the capacity about the earthquake preceptive house. Up to December 2008 was hoped for kompip will be finished gave to approximately 1600 families more that was in two villages in Klaten , they are Ngering Village and Titang Village.

KOMPIP at this time undertook 3 programs, are:

1. The Aid program for 3 the resident forums with ford foundation.

2. Griyo Lestari II program with CARE-INTERNATIONAL INDONESIA

3. Educational and the health advocacy program with ITPI-NOVIB

Rabu, 13 Agustus 2008

PRESIDEN SOMPIS: KEBIJAKAN PUBLIK HARUS LEBIH BERMAKNA


PRESIDEN SOMPIS: KEBIJAKAN PUBLIK HARUS LEBIH BERMAKNA


“PEMKOT seharusnya mempunyai konsep berjangka panjang, lebih bermakna dan jangan terkesan pencitraan saja”,

Bayu Pamungkas

Presiden SOMPIS

Keadaan dan nasib seseorang memang berada di Tangan Tuhan, manusia hanyalah sebagai insan yang selalu beusaha, berdo’a dan berharap dengan penuh keyakinan. Bahkan keadaan ekonomi yang kurang beruntung dan masa lalu yang penuh dengan liku dan aral tajam melintang seharusnya menjadi cambuk penyemangat dan pelajaran yang berharga. Insan manusia sebagai khalifah di bumi ini seharusnya berperan menjadi subjek yang berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang-orang disekitarnya. Adalah sosok Bayu Pamungkas (29 tahun ), melihat penampilannya dengan tangan penuh tato dan guratan wajah yang keras mungkin orang awam akan berpikir dua kali untuk menyapanya, “ Mohon ma’af mas, kita duduk santai diluar saja karena kunci kantor mungkin dibawa penjaganya”, sambutnya ramah ketika penulis datang dan ketika itu pula penulis sadar bahwa sosok Bayu Pamungkas adalah sesosok yang ramah dan selalu bersikap “welcome” kepada siapa saja. Setelah penulis manyampaikan maksud menyambanginya, beliau bercerita tentang masa lalunya yang terus bergelut dengan kerasnya kehidupan. Semasa remaja yang dimana masa mencari jati diri dijalaninya dengan terus mengikuti “tren anak muda” waktu itu, sehingga sekolah SMA yang dia jalani harus berganti sekolah sebanyak tiga kali pula. “ Mas, kamu naik kelas, tapi sebaiknya pindah sekolah juga ya”, ujarnya guru-gurunya kala itu. Sedikit tertertawa Bayu mengenang kala itu. Selepas SMA, Bayu selalu berusaha mandiri dan membuktikan bahwa dia sanggup untuk mandiri dan tanpa bergantung kepada siapapun. Berbagai profesi dia lakoni tanpa rasa malu tetapi dengan keyakinan selama yang bekerja dengan halal maka akan memberikan barokah bagi dirinya. Menjadi sales obat, pekerja bangunan, membuka warung kecil-kecilan pernah dia jalani.

Pada tahun 2000 Bayu Pamungkas merantau ke Jakarta. Di Ibu kota tersebut Bayu mengadu untung dengan berprofesi sebagai pengamen jalanan. Maklum Bayu sangat menyukai musik. “Berharap jadi seperti Peter Pan mas”, kenang dia. Dikota Metropolitan tersebut bayu terbuka wawasannya, bahwa bukan hanya dengan modal musik yang pas-pasan dan mental beton untuk dapat diterima dan bertahan di kalangan pengamen jalanan Jakarta. Tetapi harus dengan skill yang dapat menjual. Dua tahun kemudian Bayu pulang di kota kelahirannya di solo. Hal-hal positip yang dia dapatkan selama merantau sebagai pengamen jalanan di Jakarta coba dia terapkan di solo. Mulai dia membentuk kelompok kecil pengamen dan selalu melatih skill bermain musiknya. “ Jadi pengamen itu berat mas, di jalanan itu keras, selain itu stigma masyarakat telah melekat, bahwa pengamen itu berkonotasi negatif, mulai dari dianggap orang malas sampai tukang palak, wah pokoknya udah negatip dulu anggapan masyarakat”, ujar dia. Lanjut dia,” tapi saya tidak segera menyalahkan stigma masyarakat mas, soalnya tidak sedikit hal tersebut sering terjadi”. Untuk merubah stigma masyarakat seperti itu Bapak dari Farid Fitrah Syahrani ini mencoba membentuk Kelompok Pengamen Surakarta (PESTA)pada kurun waktu 2002 sampai dengan 2003, Kelompok tersebut merupakan wadah bagi pengamen di daerah Kartasura, pertigaan varoka kerten, terminal Tirtonadi solo dan kota Barat. Selain berupaya melatih kemampuan berlatih musik, Bayu dan kelompoknya juga belajar untuk organisasi. Dari berorganisasi tersebut mulai timbul interaksi-interaksi antar anggota dalam menunjang kemampuan dalam segala hal. Dan dari berorganisasi tersebut mulai terpikirkan untuk segera “keluar dari jalanan”, “ karena dijalanan itu keras, mas”, tegas dia. Usaha kelompok PESTA tersebut sedikit berbuah pada tahun 2003 sampai dengan 2005. Selama kurun waktu kelompok PESTA sering bekerja sama dengan pihak Disparta untuk pentas di Joglo Sriwedari.

Pada tahun 2004 berikutnya PESTA mulai berjejaring dengan SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta), Bayu merasakan dampak positip yang dirasakan ketika bergabung dengan SOMPIS. Kemampuan berorganisasi yang meningkat, proses pembelajaran untuk peningkatan kapasitas diri, akses yang lebih terbuka dengan birokrasi, juga proses advokasi dalam segala hal diperoleh di SOMPIS, seperti bila harus berurusan dengan satpol pp atau kepolisian. Selanjutnya penulis mencoba menanyakan apa harapan Bayu Pamungkas terhadap masih banyaknya pengamen yang berada di jalanan dan mungkin belum membentuk organisasi tetapi sebelum menjawab hal tersebut, beliau menjelaskan kenapa orang menjadi pengamen. Pertama karena tuntutan ekonomi, hal ini terjadi karena orang tersebut tidak mempunyai pilihan lain. Lapangan pekerjaan yang sempit dan tuntutan biaya hidup yang tinggi telah menuntut orang tersebut turun ke jalan dan mengamen. Kedua, karena memang orang tersebut mempunyai jiwa seni musik, hanya karena belum tahu dimana dia harus menyalurkan kemampuan bermain musiknya. Terhadap dua latar belakang ini, berbeda pula harapan Bayu, pertama untuk sebab pertama, Bayu berharap Pemerintah beserta stakeholder terkait untuk memberi jalan keluar bagi penyediaan lapangan pekerjaan. Dalam hal ini perhatian dari DKRPP, Dinas Ketenagakerjaan dan stakeholder yang lain agar segera mengentaskan mereka dari jalanan. Sedangkan untuk sebab kedua, Bayu berharap agar mereka dicarikan tempat yang layak untuk dapat mendukung mereka bermain musik. Misal kerjasama dengan Disparta dan pihak lain untuk selalu dapat mementaskan seniman jalanan tersebut ke panggung-panggung hiburan. “Misal di rumah-rumah makan atau di langen bogan mas”, Bayu mencontohkan. “kedua-duanya hendaknya segera dientaskan dari jalanan”,ujarnya.

Pada konggres SOMPIS yang ke tiga pada tanggal 23 Juli 2007 Bayu Pamungkas terpilih menjadi Presiden SOMPIS. Kerja yang lebih giat dan amanat yang tidak enteng diembankan kepada suami dari Nuri Prihastini ini. Bayu berharap kedepannya SOMPIS menjadi organisasi yang lebih solid, mengukuhkan solidaritas antara berbagai element SOMPIS. SOMPIS merupakan unik organisasi karena terdiri dari berbagai organisasi profesi informal yang berbeda beda, mulai dari pengamen, pedagang kaki lima, pengemudi becak, Pekerja Seks Komersial dan lain lain, yang mayoritas bekerja di sektor-sektor informal. SOMPIS akan terus melakukan kegiatan koordinasi antar element SOMPIS, melakukan kegiatan-kegiatan advokasi bagi element-element SOMPIS pada khususnya dan masyarakat pinggiran pada umumnya dalam memperoleh Hak Layanan Dasar di kota Solo. SOMPIS juga terus menggali dan mencari aspirasi dan partisipasi dari berbagai elemen SOMPIS karena dengan hal tersebut maka wacana ataupun ide ide baru bagi perkembangan SOMPIS akan terwujud. Dari segi perekonomian, SOMPIS akan mewujudkan Community saving bagi para anggotanya. Sebagai Presiden SOMPIS, Bayu mengharapkan berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan PEMKOT selalu berpihak kepada pihak masyarakat kecil. Tidak terdapatnya lagi diskriminasi di segala sektor antara warga miskin dan non miskin,seperti hak pelayanan kesehatan yang sama, hak mengakses pendidikan yang sama, “Misal mas, apa ada murid SD Negeri favorit di solo yang orang tuanya orang miskin?”, tekan Bayu. Penguatan aspirasi dan partisipasi warga dalam rangka pembangunan kota solo. Bayu juga amat menyayangkan berbagai kebijakan pemkot yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah. “Sebagai contoh sewaktu relokasi PKL barat rel purwosari sampai kerten, dulu sewaktu sosialisasi, sebanyak 150 PKL akan diberi selter di sebelah timur solo Square. Tapi realisasinya cuma 87 selter. Jadi terpaksa sisanya tidak lagi jualan Mas,” imbuh Bayu. Lebih lanjut Bayu menambahkan bahwa kebijakan penataan PKL yang dilakukan PEMKOT hendaknya mempunyai konsep berjangka panjang, lebih bermakna dan jangan terkesan pencitraan saja. ”Coba mas bayangkan saja, Wisata kuliner Langen Bogan, sekarang ini musim kemarau mas, tapi coba nanti kalau musim hujan, apa yang terjadi?, kalau belum ada langkah antisipasi dari instansi terkait. Kan yang dirugikan pertama kali tetap “wong cilik” mas”, kata Bayu mengakhiri pembicaraan ini.