Kamis, 21 Agustus 2008

MENJAGA KEUTUHAN SEBUAH KELOMPOK TANI

MENJAGA KEUTUHAN SEBUAH KELOMPOK TANI

Oleh:

Suryo Baruno

Pendahuluan

Apabila terdapat pertanyaan perbedaan dan persamaan antara guru dan petani, tentu saja kita dapat menjawab perbedaannya, yaitu guru mengabdikan dirinya dibidang pendidikan, sedangkan petani berdedikasi dibidang pertanian. Sedangkan persamaannya antara lain, mereka adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat petani adalah penyangga pangan bangsa ini. Sesuatu peran yang sangat vital, tetapi nasib masyarakat tani terasa masih terpinggirkan. Berbagai masalah selalu menerpa masyarakat tani dalam menjalankan proses produksinya, pupuk bersubsidi yang tak dapat dinikmati, serangan hama dan penyakit, gagal panen yang diakibatkan kekeringan dan belum lagi apabila terjadi panen raya, harga jual produk yang selalu dipermainkan tengkulak. Terlebih lagi ditengah tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi, seakan tak pernah berhenti segala permasalahan yang dihadapi masyarakat tani. Tetapi yang patut kita acungi jempol, dalam melaksanakan proses produksi mereka selalu dapat bertahan dan optimis. Dalam benak seorang petani, yang terpenting adalah mereka dapat menjalankan proses produksinya dan yakin mereka dapat berhasil dalam panen, meskipun tanpa memperhitungkan rugi laba usahanya, sungguh ironis memang. Pada perkembangannya atas dasar persamanaan nasib dan motivasi yang sama maka petani petani di suatu lokal membentuk kelompok tani. Hal ini sebagai wadah untuk membahas segala permasalahan yang mereka hadapi, berdiskusi dan mencari solusi yang terbaik. Pembentukan sebuah kelompok tani tak dapat dilepaskan dari peran Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dibawah Badan Penyuluh Pertanian (BPP) dibawah Dinas Pertanian.

Peran Penyuluh Pertanian

Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mempunyai multi peran dalam menjaga keutuhan dan berkelanjutannya kinerja sebuah kelompok tani. PPL berperan sebagai pendamping, pembawa hasil penelitian dan informasi, guru, pembina dan tentu saja organisatoris. Menurut Arthur T. Mosher (1969) yang disadur oleh Wirjomidjojo dan Sudjanadi, “petugas penyuluh pertanian berfungsi membantu petani-petani agar mereka dapat menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan yang ada untuk meningkatkan daya produksi mereka sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada masing-masing lokalitas”. Dalam perkembangannya selanjutnya petugas PPL selalu mendampingi dan membina kelompok tani baik dari faktor kelembagaan, administrasi, sumber daya dan teknis pertanian. Membutuhkan waktu yang tidak singkat dalam membentuk dan membina sebuah kelompok tani menuju kelompok tani yang mandiri. Sulistiyo dan Ninik Sri Rejeki (1994) menyebutkan bahwa, “salah satu hal yang penting sifatnya dalam hubungannya dengan dinamika kelompok adalah bagaimana menjamin kelangsungan kelompok tersebut sehingga dapat semakin memberikan manfaat bagi para anggotanya. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya untuk menjaga kelangsungan kelompok tersebut jauh lebih sulit daripada proses membentukannya”. Pada perkembangannya keutuhan dan berkelanjutannya kelompok tani selalu dibayang-bayangi oleh persinggungan horizontal antara anggotanya, terlebih lagi bila kepentingan pribadi atau golongan bermain di dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang ironis, mengingat fungsi strategis dan manfaat kelompok tani bagi petani pada khususnya.

Intersept Politik

Pada era perkembangan proses pembelajaran berdemokrasi sekarang dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak berpolitik. Kebebasan hak untuk dipilih dan memilih, maka tak jarang terdapat pengurus atau anggota sebuah kelompok tani menjadi kader untuk partai peserta pemilu atau untuk kepentingan tertentu, misal menjadi kader salah satu calon kandidat dalam pilpres, pilgub, pilbup dan pilkades. Hal ini akan membentuk terjadinya hubungan interelasi antara kelompok tani dengan suatu partai atau calon kandidat dalam pilpres dan pilkada. Apakah hal ini merupakan suatu kesalahan atau keluar dari aturan dan platform yang ada? Kembali lagi kepada persamaan hak untuk berdemokrasi dan bukankah sebuah partai terlahir dari rakyat, oleh rakyat dan tentu saja keberadaannya untuk rakyat, sehingga hal itu bukan merupakan suatu kesalahan. Justru hal itu akan meningkatkan kesadaran berpolitik masyarakat, dan diharapkan akan lebih membawa manfaat atau perubahan yang lebih baik. Memang hal itu tak sepenuhnya berdampak positip kepada kelangsungan sebuah kelompok tani. Dampak negatip yang sering ditimbulkan bila terjadi interelasi antara kelompok tani dengan suatu partai peserta pemilu atau calon kandidat dalam pilpres dan pilkada adalah terjadinya persinggungan horizontal antar anggota atau pengurus kelompok tani, yang akan berakibat menurunnnya kinerja kelompok tani. Tak jarang para pelaku politik memanfaatkan segala permasalahan yang dihadapi petani untuk diangkat menjadi komoditas politik dalam berkampanye. Bahkan terdapat partai dan kontestan pilkada secara langsung yang membantu kelompok tani tanpa melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dan tentu saja dengan feedback kompensasi suara. Firmanzah (2007),dalam bukunya Marketing Politik menyebutkan bahwa “masuknya komersialisasi dalam kehidupan masyarakat telah mengubah struktur masyarakat. Kalau dulunya masyarakat melihat bahwa politik adalah sesuatu yang luhur dan tinggi, sekarang mereka melihatnya dengan lebih pragmatis. Masyarakat dihadapkan pada tuntutan hidup yang semakin tinggi ditengah-tengah persaingan global yang mengubah karakter masyarakat untuk menjadi lebih pragmatis”. Mengingat posisi sebuah kelompok tani yang strategis, patut disayangkan apabila masih terdapat partai atau kandidat pilkada memposisikan atau menjadikan masyarakat dalam hal ini kelompok tani hanya sebagai objek, atau sebagai pundi-pundi suara. Pelaku panggung politik harus sadar segala akibat yang akan terjadi bila intersept politik pada kelompok tani. Persinggungan atau perselihanan yang terjadi memang tak akan berakibat pada konflik horizontal antar anggota atau pengurus. Namun hal itu akan mengakibatkan menurunnya kinerja kelompok tani, atau lebih parahnya lagi sebuah kelompok tani bisa saja bubar. Dapat dibayangkan bagaimana individu-individu petani dalam menjalankan proses pertaniannya tanpa wadah, tanpa bimbingan, sehingga mereka akan berjalan seakan tanpa arah. Jangankan untuk revitalisasi, untuk sebuah proses ”islah” dan melupakan sejenak persinggungan yang terjadi antara anggota saja akan membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit serta proses yang panjang.

Dari Objek menjadi Subjek

Menjadi suatu objek memang tidak menyenangkan, selalu diatur oleh sang subjek, tak punya bargaining, dan hanya selalu menerima tanpa dapat melakukan sesuatu yang menambah arti. Pola pendampingan pada kelompok tani yang intensif, dan berkelanjutan diharapkan akan mampu menumbuhkan sifat yang lebih konsisten dalam bekerjasama antar anggota, pengurus dan petugas pendamping. “Untuk mencapai tujuan kelompok maka motif yang sama (motif untuk berkelompok) tersebut harus disertai dengan keinsyafan anggota kelompok bahwa tujuan tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan kerjasama diantara mereka”, (Gerungan (1987), disitasi oleh Sulistiyo dan Ninik Sri Rejeki (1994). Adapun output yang diharapkan dari pola tersebut adalah peningkatan sumberdaya dan kinerja kelompok tani, sehingga para anggota lebih merasakan pula peningkatan nilai manfaat dan benefit bergabung dalam kelompok tani. Alangkah lebih baik apabila pihak pemerintah dalam hal ini akan melibatkan beberapa instansi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada kelompok tani, misal pembentukan kelompok tani menjadi koperasi kelompok tani (hal ini sudah dilakukan dan berjalan di beberapa kabupaten). Juga prosedur pemberian berbagai ijin usaha yang dipermudah, misal prosedur ijin usaha untuk menjadi agen atau pengecer pupuk (sesuatu yang menyangkut harkat kehidupan pertanian), akses modal kerja usaha, pemasaran hasil, transparansi kebijakan publik, serta beberapa kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada petani lainnya. Disamping itu pendampingan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, misal dalam peningkatan kesadaran berpolitik. Hal ini diharapkan anggota kelompok tani lebih dapat memilih sendiri kemana aspirasi politiknya akan disalurkan. Dari berbagai hal tersebut, maka diharapkan kelompok tani akan meningkat kinerja dalam berbagai aspek, sehingga akan memberikan manfaat lebih bagi para anggotanya, sehingga timbul kesadaran dari para anggota kelompok tani untuk selalu mempertahankan keutuhan dan berkelanjutannya sebuah kelompok tani. Kelompok tani tak lagi menjadi objek, tetapi akan mampu menjadi subjek. Para anggota dan pengurus kelompok tani akan dapat memilah antara kepentingan kelompok tani mereka dengan kesadaran berpolitik setiap pribadi. Sebab para anggota dan pengurus kelompok tani sadar bahwa mempertahankan dan menjaga keutuhan dan kelanjutan kelompok tani sangat lebih sulit. (Bahkan di segala aspek kehidupan).

Penulis adalah

Alumnus UNDIP

Pemerhati Masalah Sosioekologi Pembangunan Pedesaaan

0 komentar: